Senin, 19 Februari 2018

Samudra Merah


 
Senja berpaling. Seberkas cahaya memar
Rona jingga samarkan hati. Kabut tipis menuai rindu
Alangkah elok ciptaan Yahwe
Kering gersang rindu memikat

Kusingkap lagi setiap tetes rindu
Bening matamu bawa harap   
Simponi kisah papaskan peluk
Hatiku ketir singkapi airmatamu

Dua Boneka Kecil





Pada dinding kebiruan dan kursi mungilku
Duduk sepasang mata iba. Dua tangan kocar-kacir
Dua telinga tergantung dan satu hati menyatu
Di pinggir rak buku mini lahirlah pemilik puisi

Di telaga malam. Ketika matahari lelah bersinar
Dua boneka mungil meloncat di atas mesin-mesin huruf
Binar matanya membendung sungai
Hatinya rontok. Sang waktu menyaksikan

Selekas penat mempertemukan.
Dua boneka kecoklatan merajut salam.
Kini pukul dua-tiga tujuh subuh.
Mereka mematung. Dua tangan lainya berpesta menyambut puisi.



Bulan Yang Merana



Di atas langit kau duduk menenun asmara
Berpuluh-puluh tahun yang lalu aku merintih dalam doa
Seorang lelaki menemuiku dalam mimpi
Begitu elok sayup mata mendera riak wajahnya

Para perawan dibawah kaki bukit menghentak lonceng tua
Bulan masih berpapas sedang bintang mengayomi anak-anaknya
Langit teduh seduh sedan
Ada aku disebalik sinar

Bulan masih sama mempelitai batas kota
Kali ini para janda menjuntai para perjaka
Niat hati merenungi kisah bulan. Apa daya
Tangisku pecah pada bulan yang merana


Sampai Nanti



Sampai Nanti
(Untuk Lelaki Berjubah)


Aku mau seribu kali hidup dalam parasmu
Ingatanku bersinar bagai pelangi
Garis lengkungnya menyambung
Kita dibaliknya

Yang tua rentah duduk manis
Dimeja-meja altar tangan terkatub rapat
Kau kenakan jubah  keselamatan
Aku berjalan mundur dalam ketidakpastian