Selasa, 02 Agustus 2016

MENANTI BESOK


Aku Menanti besok dari sisa serpihan kemarin
yang pernah membuatku jatuh menindih batu
aku menunggu besok dari sisa rasa yang tersirat
yang pernah ku suratkan lewat pelangi 


aku setia menjemput besok
berharap tulus agar besok lebih setia padaku
aku mohon pada besok
semoga besok memohonkan aku agar  tetap bahagia
walau besok tanpa mu adalah sebuah kehidupan baru

JUJUR BUKAN RINDU





Rintihan airmata sudah tiada lagi
Hanya sedu sedan sepi yang tertinggal di tebing -tebing pelangi hari itu
Makna nya masih berseronok lampau

Rindu yang berkocak diperadu hati
Pelan -pelan dapat ku usir ke ujung paling akhir hakikat tak serupa tentang kamu yang lalu

Namun ku tau masih ada kerdip mata
Yang mengintai rindu dari raga lara
Tidak usah bohong andai ku bilang rindu itu tiada !
Karena rinduku telah terpahat utuh seperti batu bata .

Mundurlah . .
Enyalah . .
Pergi dan pergi . .
Di ujung jalan sana masih ada intan yang harus ku miliki .

ISTIMEWA


Selaska cerita tertoreh pada lembar hari
Mengisi kosong ku tanpa tanda isyarat
Mengganti hilang pada tiap butir masa
Menapaki jejak pada khatulistiwa bumi

Desiran ombak kian bergadu mencumbu bibir pantai
Alam memukau menyulam menit tiap detik

Suara gadis kampung menjahit cakrawala
Padanya pagi -pagiku pecah oleh tangan emas berbaur racikan hitam bernama kopi

Istimewa itu seindah cerita gadis kampung
Menjunjung tinggi cinta pagi
Menaruh rasa pada secangkir gelas kaca

Pagi yang istimewa
Mentari reba pada pangkuan senyum
Menutup malam di beranda ufuk timur * * *

Rinai Hujan Untuk Tuhan *



Selepas jeda pada rayuan hujan senja, aku kembali merasa kehangatan mentari yang terlalu sulit untuk mencairkan kebekuan di dadaku. Ini bukan sepenuhnya tentang aku, hanya ketika suatu hari aku menemui batas sempit yang terhimpit pada rongga-rongga waktu dan memaksa untukku membuat pilihan terbaik dari yang tersulit seperti halnya ku berdiri di ketinggian tebing yang curam tanpa ada batas dengan dalamnya jurang. Satu-satunya cara, aku harus bertahan jika ingin tetap hidup dan tak ada pilihan lain kecuali aku ingin mati. Mendengarkan kata mati membuatku bergidik, tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya bagai daging yang dirobek-robek oleh tajamnya taring singa. Apalagi tiada yang menemani di sisi, sama sekali tak ingin menjadi mayat beku dan membiru tanpa ada iringan cinta dari yang mencinta dan yang selalu memilih aku.

Telah lama aku tak lagi bergincu dan memudarkan bedak yang seolah tak lagi menjadi istimewa. Bukan melupa aku adalah seorang perempuan. Hanya saja ada masanya energiku berada pada titik persen terendah. Nyanyian angsa yang tak lagi kusenandungkan kini berganti kicauan burung yang menjadi satu-satunya titik temu antara aku dan waktu ajaib bernama senja. Aku mengalah pada kejamnya hari dan orang-orang yang memiliki kepala bertegangan tinggi, bukan berarti menyerah. Hanya ingin sejenak meresapi apa yang terlalu banyak kulewatkan, apa yang tak kumengerti dan semakin membingungkan. Ini memang tentang perjalanan, sejauh batas yang kularung, sedalam hatiku melaut. Sudahkah kutemu apa yang kumau?

Luka-luka, debu-debu, sarang laba-laba, dan sangkar emas yang kini berkarat menyesakkan. Satu demi satu menemui wajahku. Fatamorgana yang melindap semu seolah menyilaukan sesaat dengan sejumput harapan dari balik kegelisahan. Dan kutemui diriku dalam fana menjelma kupu-kupu yang tak mampu melihat keindahanku sendiri karena terpaut akan keindahan mulut berbisa orang lain.

Dulu aku suka berlari, tunggang langgang, dan menjadi satu-satunya pemegang indah harapan. Lalu aku mewujud ratu yang dielu-elukan dan dipuja oleh puji-pujian. Apa aku terlena? nyatanya aku semakin bosan dan mendadak terhempas dari tempias rinai gerimis yang menyejukkan menuju gurun yang tak lagi menghangatkan tapi membakar semua energiku hingga layu bak perdu beronak tak menyemai bunga.

Menatap mentari tak lagi membuatku berdiri gagah, menatap laut juga tak kunjung mendamaikan riak. tapi aku tetap tak bisa menggadai ketidakpastian masa depan hanya untuk cinta sebatas tatapan muka. Aku sadar, tapi aku terlalu nanar.
Satu-satunya yang kubenci adalah menjadi perindu terbaik tanpa mampu mendapatkan balasan rindu yang setimpal. Sedang yang kurindu tak pernah sekali detik sekedar coba untuk menengok diam-diam dalam balutan sepi dari balik punggungku. Lalu mau kemana ketika kepala berisi bom waktu, dan hati menanam benih carut marut angin badai tanpa kenal musim? Siapa ingin menemui siapa? Siapa melangkah ingin kemana? Siapa ingin melupa tapi terus mengingat?

Bila saja bisa kutitipkan angin pada awan agar dilarung laut menuju antah berantah, atau kusemai luka pada darah agar mengalir menjadi keringat dan hempas oleh udara. Bila kutemui kau begitu dekat sedang arah begitu jahanam memisahkan rasa. Mana yang lebih manis dari kecupan pertama dengan ketulusan tanpa ada sentuhan kabut dibaliknya? aku ingin kembali merasa semu merah jambu dari jatuh cinta yang malu-malu, perasaan kikuk yang memberikan sengatan listrik pada jantung untuk membuatnya lebih berdegub, atau rasa yang kuncup-kuncup bersemi dan mekar bersama titik embun pagi. Aku merindu hari mendamaikanku tanpa takut orang lain memiliki mawar hitam dari balik pandangan mataku.

Tuhan, kumohon hanya padaMu tuk hangatkan dingin hatiku. Mohon redamlah ketakutan dari simtom-simtom yang berdenyut di kepalaku. Kecuplah keningku lembut dengan butir-butir maafMu. Ini perjalanan yang harus tetap kulanjutkan, beri kekuatan tuk wujudkan indah harapan.

Senin, 01 Agustus 2016

KETIKA CINTAKU BERNADA RUMIT


Ijinkan aku
terbang bersama angin
Dikala hatiku tersayat asmara
Di iris rindu oleh serpihan pisau belati
Atas kosongmu dan kosongku lewat simponi Bernada cinta berbalut rindu

Andaikan hadirmu dulu
Tak sesesak rasaku saat ini
Maka takanku biarkan dirimu berkelana di dasar hatiku
Aku merana
Andaikata cintaku tidak kau
Hipnotis dengan egomu
Cintaku suci beraroma sutra
Demikan yang aku punya
Tak setajam hati dan perasaan
Yang kau balas padaku

Seguris luka sempat bertandang
Kala cintamu sempatkan malang
Dengan gagahnya kau tancapkan pedang hinggah aku meradang
Lalu hanyut dalam nestapa penuh goncangan
Ku ukir lalumu kembali
Dulu cinta itu membuaiku
Hinggah menenggelamkan aku
Dalam keasyikan duniawi
Sedang kini ku tau
Kebahagian itu hanya sementara
Tertawa riang namun diakhirkan binasa

Kamu dan ego mu
Aku dan cintaku
Bagaikan sepasang merpati yang berlainan arah
Cintamu menjalar ke barat
Dan aku menyusuri selatan
Harus bagaimana ?

Cinta tidak butuh di terbangkan
Cinta tidak perlu di publikasikan
Cukup simpanlah
Cukup genggamlah semampumu
Dan cukup untukMu merangkul hinggah tak terjatuh ke arus cinta yang berlawan

Maka biarlah seadanya
Aku mengalah
Hinggah kau merasa nyaman
Jika demi ego kau ingin pulang
Maka bergegaslah
Bawa pergi hasratmu
Biar bingkaimu ku bungkus rapat
Dalam angan jari jemariku
Melangkah lah sejauh harapmu
Dan biarkan harap ku terkunci
Hinggah tidak kau atau seorang pun membuka nya lagi
Hinggah Tuhan menjawab

Tanpa banyak tanya yang harus ku tegaskan
Tanpa banyak kata yang harus ku inginkan
maka pergilah

Pilihan terkadang bukanlah yang terbaik
Namun pilihan harus tetap kita jalani
Meski rasa sakit yang harus kita dapati
Mencintai terkadang menyakitkan
Namun
Kita takan dicintai
Jika
Kita tidak mencintai .

TANI MAYA INA



Ina . .
Anam go tani mayano ina
Mo pana peken nuba ben tobo rogo
Ina gawe lupan
Anam ben dei dawa

Ina . .
Susah kiden go kenuk'a
Kiden kala inak take
Latu kala taku
Leta kala heku ina oo
Go nimun take

Horo louk
Go tobo tani mayano ina
Mo mata pekenek
Man dikenehi

Mata mai turu tanah
Lolak mai loni ekan
Tani tutu tani
Marin tani mayan kala heku

Ata rabe mayan dihala
Ata rabe tulin di kura

Ina . .
Anam Go tani mayano
Aran pira go kai
Koi inak moe
Tani kabe horo louk
 
_ Sandakan_

ALAS KAKI

 
Kini pagi berlabu
Sandarkan peluh pada bahu
Wajah kaum ayah utarakan selaska harap

Pada persimpangan lahan
Terkuai seribu satu penat

Deretan padang gersang
Berbatu ganas mesti nya
Sekeras beton pada hujung nya
Kaum ayah kekar kan tubuh
Dari onggokan tanah tanpa serpihan
Kian batu bersembunyi di balik gumpalan

Cangkulmu kau ayuh
Jauh ke atas
Pantul mentari enggan singgah
Pada pekat nya tanah
Terterah tebal di atas ujung besi tuamu
Garis tanganmu tertulis sehaska
Jiwa
Demi kami

Syair anak pipit
Menyatu dalam gemah nolstalgiamu
Senyum ria abaikan bulir letihmu
Sehelai topi bernaung pada kepalamu
Dalm ruang panasnya hari

Tangan kasarmu tak
Kau gubris demi kami
Ragamu yang letih tak
Kau kisah untuk kami
Letih jiwamu tak
Kau sandarkan pada naluri kami

Semangatmu bukan batu sandungan
Untuk berhenti menaruh harap
Kian berseri
Kami ukir semangat belajar kami
Di bawah alas kakimu yang kusam
Di tutupi kerasnya tanah
Semangatmu masa depan kami
Peluhmu sukses kami
Letihmu semangat kami

Pacul yang dalam
Agar kami tau bahwa hidup ini tidak selamanya selicin lumut hijau
Kadang kami harus tau
Bahwa tanah juga memberi keras pada raga

KAMI ANAK ZAMAN INI


Kami anak zaman ini
Mewakili 7 turunan papa sekali
Dalam Darah kami mengalir pasti
Pusaka moyang sejak zaman bahari

Kami mewarisi tradisi sili berganti
Darah daging kami penuh budaya asli
Dalam urat campur tulang berbaur langsung
Kami hidup terus terang tiada canggung

Kami mewarisi sejarah berabad silam
Sejak kerajaan berdiri dan hilang tenggelam
Ada yang tinggal pada kami hanya tulang nya
Ampas -ampas debu dari picitan usang

Kami sekarang berdiri teguh sekali
Dalam dada penuh cita insaf sejati
Segala dendang dan tari telah kami lalui
Pada tumpah rua darah di kala itu
Namun kami masak dari kementahan kini

Kami anak zaman ini
Tidak mau mengemis sesuap nasi
Karena bumi kami telah memahat janji
Kami punya hak untuk hidup berdaulat tinggi

* KELIRU *



mengiringi waktu berlalu dari hari ke hari
aku masih juga begini mengenali diri dalam kelesuan
mengatur jejak menimang derita membilang air mata
memburu haluan hidup

sesekali gelisahku jadi duri
menikam kejam derita yang sedia parah lukanya
menusuk pedih harapan yang kian dibayangi kecewa
ketika itulah diri ini jadi keliru
terlalu asing dalam mencari haluan

andai dalam gelisah ini aku jadi keliru
antara nasib dan takdir
antara syukur dan kesal
antara redha dan terpaksa
segalanya jadi sama dalam dengan tiba-tiba
bagai permata dan kaca sukar untuk ku bedakan

beginikah hidup yang kau rencana
pada sepasang mata layu yang samar dari sinaran
lalu meniti bebanan di setiap likuan
dan kini setelah hidup dalam derita
aku masih terlalu jarak dari bahagia

kuhimpunkan doa walaupun bicaranya tetap sama
ku gubah harap kulagukan mohon
kurangka syukur kubariskan di hening malam
hingga akhirnya aku kehabisan tangis
tunjukilah aku
yang sering jadi keliru dalam menilai jalanku
Kini tersadar lamunanku bahwa
aku adalah aku...